Kasus Prita Wujud Kebebasan Berekspresi Terkekang


JAKARTA - Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menghukum terdakwa kasus pencemaran nama baik RS Omni Internasional Prita Mulyasari dianggap telah melanggar kebebasan berpendapat di era demokrasi.

Situasi ini membuat masyarakat kembali pada keadaan rezim otoriter di masa lalu.

"Putusan tersebut membuat kebebasan publik tentang memberikan opini, berekspresi terganggu dan kita kembali ke masa lalu dimana kebebasan berekspresi terkekang," ujar Ketua Setara Institute Hendardi kepada okezone, Selasa (12/7/2011).

Hendardi menyarankan agar MA ebih arif dan bijaksana dalam membuat sebuah keputusan. Keputusan seyogyanya diambil berdasarkan hati nurani yang memenuhi asas keadilan.

"Bila MA tidak mengabulkan hal ini berarti kepercayaan publik kepada MA akan runtuh, dimana MA merupakan benteng terakhir mencari keadilan," katanya.

Jika MA tidak kunjung menangguhkan putusannya, lanjut Hendardi, maka MA akan menuai kecaman dari masyarakat.

"Lebih arif MA memberikan PK pada kasus Prita," tandasnya.

Seperti diketahui, MA telah mengabulkan kasasi jaksa pada kasus Prita Mulyasari. Putusan 30 Juni 2011 itu dinilai mengoyak rasa keadilan masyarakat.

Putusan perkara kasasi Prita ditangani tiga hakim agung antara lain M Zaharudin Utama, Salman Luthan, dan R Imam Harjadi. Perkara dengan nomor register 22K/PID.SUS/2010 ini mengabulkan jaksa penuntut umum dan menolak permohonan terdakwa Prita Mulya Sari.

Prita Mulyasari dinyatakan bersalah oleh MA. Prita pun ternyata divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Jika dalam waktu satu tahun berkelakuan baik.

Source : okezone.com

Berikan Komentar yang bermanfaat dan sehat.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama