"ilustrasi Foto Pergi Pernikahan Buk Ria bersama Rekan Pasca XXII-C" |
bagi yang berada di Minangkabau atau khusus nya di pariaman, saat pernikahan akan ada istilah uang baJapuik. yang berada di luar minangkabau mempunyai makna kenapa si laki-laki di minang mau saja di beli oleh perempuan, bearti harga diri seorang lelaki bisa dinilai dengan uang. presepsi mereka tidak salah, tapi tidak juga benar karena belum mengetahui apa dan maksud dari uang japuik tersebut.
Pada prinsipnya orang minang mengklasifikasikan adat menjadi empat macam yakni
1. adat nan sabana adat (adat sebenar adat)
2. adat nan diadatkan(adat yang diadatkan)
3. adat nan taradat (adat yang beradat)
4. adat istiadat.
Untuk memahaminya saya akan memberikan sedikit contoh
1. Adat nan sabana adat
Sederhananya, adat nan sabana adat itu merupakan aturan pokok dan falsafah hidup orang minang yang berlaku turun temurun tanpa dipengaruhi oleh tempat dan waktu, istilahnya ialah
indak lakang dek paneh,
ndak lapuak dek ujan.
Dalam hal ini contohnya seperti sistem materlineal dan falsafah alam takambang jadi guru yang dipakai oleh orang minang.
2. Adat nan diadatkan
merupakan peraturan setempat yang diputuskan secara musyawarah dan mufakat atau aturan yang berlaku disuatu nagari (negeri/daerah) tertentu. Misalnya tata cara atau syarat-syarat pengangkatan penghulu dan tata cara perkawinan. Sehingga adat perkawinan antara satu daerah dengan daerah lainnya di dalam Minangkabau berbeda-beda, tata cara perkawinan di Pariaman berbeda dengan tata cara perkawinan di dareah lainya seperti Payakumbuh, Bukittingi dll.
3. Adat nan taradat
merupakan kebiasaan seorang dalam kehidupan bermasyarakat, misalanya seperti tata cara berpakaian, makan dll. Jika dahulu orang minang makan dengan tangan, maka sekarang orang minang sudah mulai menggunakan sendok untuk makan.
4. Adat istiadat
merupakan kelaziman dalam sebuah nagari atau daerah yang mengikuti situasi masyarakat. Biasanya adat istiadat ini dijewantahkan kedalam bentuk apersiasi seni, budaya, acara serimonial dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi bajapuik adalah sebagai transaksi perkawinan itu termasuk kedalam kategori adat nan diadatkan. Di Minangkabau tradisi uang bajapuik atau transaksi perkawinan ini awalnya hanya terjadi di daerah Pariaman, sedangkan dareah lainnya tidak mengenal istilah transaksi perkawinan ini. Tetapi sekarang bukan hanya pariaman saja yang menerapkan tradisi bajapuik ini.
Tradisi Uang bajapuik adalah tradisi mas kawin dalam hal ini ditandai dengan adanya uang pinangan yang dikenal dengan istilah uang japuik. Uang japuik (uang jemputan) adalah sejumlah uang yang digunakan untuk meminang laki-laki dari pihak si perempuan yang biasanya jumlah uang japuik tersebut merupakan hasil kesepakatan antara mamak kedua belah pihak. Jumlah tersebut biasanya dilihat berdasarkan gelar adat si laki-laki.
Uang jemputan berfungsi sebagai salah satu persyaratan pernikahan dan bermakna sebagai perwujudan rasa hormat atau penghargaan dari pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (calon menantu atau sumando) dan keluarganya.
Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi. Ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah atau patriakat, sedangkan sekarang jumlah tersebut dilihat berdasarkan pangkat, jabatan, gelar sarjana dan pekerjaan si laki-laki yang akan diambil menjadi menantu dan pasang untuk kemenakannya.
Besar kecilnya pembayaran uang atau barang untuk jemputan tergantung dari status sosial si laki-laki yang akan diambil menjadi menantu. Secara tradisional gelar kebangsawanan yang menjadi tolak ukur besar kecilnya jemputan. Kalau orangnya bergelar sidi, sutan, atau bagindo jemputannya lebih besar dibandingkan dengan orang biasa karena orang ingin anak cucunya dialiri darah bangsawan. Sekarang cenderung bukan lagi gelar bangsawan yang menjadi ukuran tetapi status sosial lain yaitu gelar kesarjanaan seperti dokter, insinyur, sarjana lainnya dan lulusan perguruan tinggi terkemuka akan lebih tinggi statusnya .
uang jemputan adalah nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak Pengantin pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dari nilai yang diberikan oleh keluarga pihak pengantin perempuan sebelumnya kepada keluarga pengantin pria.
Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) manjalang (berkunjung) ke rumah Mintuo(mertua). Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak marapulai sebelumnya karena ini menyangkut gengsi keluarga marapulai itu sendiri. Hal ini juga ditemukan dalam sebuah novel yang berjudul Ketika Rembulan Kembali Bernyanyi karya Kartini.
Dari sumber yang lain menyatakan dalam sejarah uang bajapuik berasal sejak Agama Islam masuk ke indonesia melalui daerah Aceh. Daerah Pariaman merupakan salah satu tempat berkembangnya agama islam, sehingga orang-orang Pariaman sangat memegang teguh agamanya.
Orang asli Pariaman, merupakan penduduk pesisir yang bermata pencaharian nelayan, mereka hidup dari hasil melaut di pantai pariaman. Kemudian datang lah urang rantau dari daerah bukit-tinggi Padang Panjang. Mereka merantau dan mulai bertempat tinggal dan berocok tanam sebagai petani di Pariaman. Kemudian, urang darek ini ingin mengawinkan putri-putri mereka dengan orang Pariaman, namun, orang pariaman dulu merupakan orang miskin, sehingga untuk mengangkat derajat calon suami mereka tersebut, keluarga wanita pun menjemput dan memberikan sejumlah harta untuk calon suaminya dengan tujuan mengangkat derajat calon suaminya tersebut. Suami mereka pun akan dihormati di keluarga istrinya, dipanggil dengan gelar mereka, misal sidi, bagindo atau sutan. Setelah menikah, suami tinggal di rumah istrinya, di rumah tersebut, suami mereka dipanggil dengan hormat sesuai dengan gelarnya, tidak boleh dipanggil dengan nama aslinya.
Dengan begitu makna dari uang bajapuik tersebut adalah untuk menaikan harkat dan martaba marapulai.
Pada umumnya bajapuik (dijemput) merupakan tradisi yang dilakukan oleh orang minang dalam prosesi adat perkawinan, karena dalam sistem matrilineal posisi suami (urang sumando) merupakan orang datang. Oleh karena itu,
datang karano dipanggia – tibo karano dianta
diwujudkan kedalam bentuk prosesi bajapuik dalam perkawinan. Namun, di Pariaman prosesi ini diinterpretasikan kedalam bentuk tradisi bajapuik, yang melibatkan barang-barang yang bernilai seperti uang. Sehingga kemudian dikenal dengan uang japuik (uang jemput), agiah jalang (uang atau emas yang diberikan oleh pihak laki-laki saat pasca pernikahan) dan uang hilang (uang hilang).
Secara teori tradisi bajapuik ini mengandung makna saling harga menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki. Ketika laki-laki dihargai dalam bentuk uang japuik, maka sebaliknya pihak perempuan dihargai dengan uang atau emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik atau dinamakan dengan agiah jalang. Kabarnya,
dahulu kala, pihak laki-laki akan merasa malu kepada pihak perempuan jika nilai agiah jalangnya lebih rendah dari pada nilai uang japuik yang telah mereka terima
tapi sekarang yang terjadi malah sebaliknya. Makna saling menghargai inilah yang menjadi prinsip dasar dari tradisi bajapuik.
Namun, dalam realitasnya yang terjadi saat ini, terdapat jurang yang tajam antara teori dan prakteknya. Tradisi yang dilaksanakan oleh masayarakat hingga kini sudah jauh berbeda dengan prinsip dasarnya. Jika sebelumanya nilai agiah jalang melebihi uang japuik, maka dalam prakteknya sekarang nilai agiah jalang malah lebih rendah dari pada nilai uang japuik. Bahkan dalam perkembangnya muncul pula istilah yang disebut dengan uang hilang. Uang hilang ini merupakan pemberian dalam bentuk uang atau barang oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki, yang sepenuhnya milik laki-laki yang tidak dapat dikembalikan.
Uang hilang yang sudah diberikan kepada pihak laki-laki tidak dapat dikembalikan, apapun yang terjadi baik pada masa pra nikah maupun pasca nikah. Pihak perempuan tidak dapat menuntut pengembalian, jika pihak laki-laki membatalkan dan mengambil uang hilang.
Sedangkan uang japuik, dimana secara hukum adat, apabila ikatan pertunangan dibatalkan oleh salah satu pihak, maka pihak yang membatalkan ikatan pertunangan diharuskan membayar dana sebesar uang japuik atau disebut juga dengan lipek tando (uang denda)Fakta dilapangan mencatat bahwasanya perbedaan antara uang japuik dan uang hilang semakin samar, sehingga masyarakat hanya mengenal uang hilang dalam tradisi bajapuik. Biasanya uang hilang ini digunakan oleh pihak laki-laki untuk membiayai resepsi pernikahan, seperti untuk biaya makanan, biaya pelaminan, tenda dan perangkat hiburan dll. Disamping itu, sebagian kecil disisihkan untuk membeli perhiasan untuk agiah jalang sebagai barang yang akan diberikan kepada pihak perempuan dalam prosesi manjalang.
Prosedur Pemberian Uang Japuik
Adat perkawinan padang pariaman, terdiri dari
1. Adat sebelum menikah,
2. Adat perkawinan
3. Adat sesudah perkawinan.
Dalam adat sebelum perkawinan terdiri dari
- maratak tanggo
- mamendekkan hetongan
- batimbang tando (maminang)
- menetapkan uang jemputan.
adat perkawinan terdiri dari
- bakampuang-kampuanngan
- alek randam
- malam bainai
- badantam
- bainduak bako
- manjapuik marapulai
- akad nikah
- basandiang di rumah anak daro
- dan manjalang mintuo.
adat setelah perkawinan yang wajib dilaksanakan yaitu
- mengantar limau
- berfitrah
- mengantar perbukoan
- bulan lemang.
uang japuik ditentukan saat sebelum perkawinan dan diberikan saat adat perkawinan, yaitu saat manjapuik marapulai.
Ada dua pihak yang terlibat dalam adat perkawinan, yaitu pihak marapulai (calon pengantin laki-laki) yang terdiri atas mamak marapulai , ayah marapulai dan ibu marapulai. Sdangkan dari pihak anak daro (calon mempelai wanita) terdiri atas mamak anak daro, ayah anak daro dan saudara laki-laki anak daro. Biasanya diantara mereka ada perantara yang mengerti adat dan pepatah petitih bahasa minang, yaitu kapalo mudo. Kapalo mudo marapulai dan kapalo mudo anak daro yang akan saling bercakap-cakap dalam pepatah petitih bahasa minang, yang isinya menyampaikan maksud keluarga tersebut.
Bila ada orang pariaman yang anak gadisnya telah siap menikah, maka orang tuanya akan mulai mencari jodoh untuk anak mereka. Saat mereka menemukan laki-laki yang dirasa cocok, maka
keluarga perempuan akan mengunjungi keluarga laki-laki tersebut, dinamakan marantak tanggoacara ini sebagai tahap awal bagi seorang wanita mengenal calon suaminya. Bila dirasa cocok, maka keluarga kedua belah pihak akan berunding dan melaksanakan acara
mamendekkan hetongan, yaitu keluarga perempuan akan bertandang kembali ke rumah calon mempelai laki-laki (marapulai) dan bermusyawarah.Sebelum mamendekkan hetongan, orang tua anak daro akan menyempaikan maksud mereka kepada mamak tungganai. Biasanya mamak akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (pesta) beserta isinya termasuk uang japuik akan disiapkan oleh keluarga wanita. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual harta pusako untuk membiayai pernikahan. Kemudian dalam acara mamendekkan hetongan, kedua belah pihak akan dibicarakan tentang besarnya uang japuik dan berbagai persyaratan lainnya.
Acara dilanjutkan dengan batimbang tando (meminang). Pada hari itu keluarga perempuan akan mendatangi rumah laki-laki membawa berbagai macam persyaratan yang telah dibicarakan sebelumnya. Dalam acara ini calon mempelai laki-laki dan perempuan menerima tanda bahwa mereka akan menikah. Bila acara ini sudah selesai, pembicaraan akan meningkat pada masalah uang japuik, mahar, dan hari pernikahan (baralek). Kemudian acara dilanjutkan dengan pepatah petitih yang diwakili oleh kapalo mudo anak daro dan kapalo mudo marapulai. Kapalo mudo adalah orang-orang yang mengerti tentang pepatah minang. Jalannya acara perkawinan tergantung dari percakapan kapalo mudo ini.
Setelah acara batimbang tando, maka acara dilanjutkan dengan menetapkan uang jemputan dan uang hilang.Dalam acara ini Marapulai dan anak Daro tidak di izinkan ada di tempat.
Setelah uang japuik diberikan, acara dilanjutkan dengan acara alek randam (persiapan) dan malam bainai. Setelah semua persiapan selesai, maka pada hari yang telah ditentukan maka keluarga anak daro yang terdiri dari mamak, ayah, kakak laki-laki akan menjemput pengantin laki-laki (marapulai) di rumahnya membawa pakaian pengantin serta persyaratan termasuk uang japuik. Sampai di rumah marapulai, telah menunggu keluarga marapulai, maka mamak anak daro akan membuka percakapan dan diakhiri dengan membawa marapulai, sedangkan uang japuik akan diserahkan kepada ibu marapulai.
Marapulai pun dibawa ke tempat akad nikah. Setelah menikah, acara dilanjutkan dengan pesta perkawinan (baralek). Lalu dilanjutkan acara setelah perkawinan, setelah kedua pengantin bersanding di rumah anak daro, maka dengan berpakaian adat lengkap dan diiringi dengan kerabat, membawa makanan adat, mereka mengunjungi rumah mintuo anak daro, acara ini disebut manjalang mintuo. Pada acara ini lah uang japuik akan dikembalikan dalam betuk perhiasan kepada anak daro yang teradang jumlahnya dilebihkan oleh ibu marapulai.
Sanksi dan Makna Uang Japuik
Bila ada perkawinan yang tak menyertakan uang japuik, maka akan dikenai sanksi, terutama sanksi moral. Keluarga tersebut tentunya akan mendapat cemooh dari sanak keluarga dan teman-temannya, terutama dari mamaknya. Lalu keduanya mungkin bisa tidak jadi menikah, kemudian dicap tidak beradat dan akhirnya diusir dari kampungnya karena dianggap tidak menghargai ninik mamak.
Tradisi bajapuik bertujuan mengangkat derajat pria di pariaman, mereka dijemput untuk menghormati pria tersebut yang akan menjadi anggota baru keluarga besar sang istri (urang sumando).
NB :
"Jika ada kesalahan nama atau makan mohon di komentari, saya akan memperbaiki untuk memberikan infomasi yang valid kepada masyarakat luas"
NB :
"Jika ada kesalahan nama atau makan mohon di komentari, saya akan memperbaiki untuk memberikan infomasi yang valid kepada masyarakat luas"